Seiring dengan semakin banyaknya radio-radio dan acara-acara tv yang
ber-bau wahabi, perlu kiranya kita selaku ummat islam mengetahui betul
sejarah mereka dan siapa mereka. Tidaklah heran perkembangan mereka ini
karena dukungan dana yang kuat dari kerajaan Arab Saudi, bahkan jamaah
haj Indonesia yang datang berhaji selalu di-beri gratis buku-buku faham
wahabi.
Disamping itu sudah mulai banyaknya "korban" terutama kaum awwam dan
kaum muda yang tentu saja pasti akan tertarik dengan slogan marketing
wahabi yaitu "Kembali kepada Alqur'an dan As-sunnah" memang terdengar indah dan suci namun diballk itu semua terdapat racun yang membuat hati menjadi buta, tuli dan bisu
Islam adalah agama perdamiaan, persaudaraan, cinta kasih, bahkaan sesama muslim bersaudara !
Berikut ini adalah fakta sejarah jadi bukan fitnah. sumber asli tulisan ini adalah dari site sarkub.com.
Gerakan Wahhabisme mengawali kemunculannya di jazirah Arab pada abad
ke-18 dengan pertumpahan darah dan jatuhnya banyak korban. Ironisnya,
ini terjadi di antara kaum Muslim sendiri. Tak heran, sebab doktrin yang
dogmatis, intoleran, sangat literal dan kaku yang diusung kelompok ini
telah melahirkan penolakan total terhadap aliran pemikiran lain sampai
ke tingkat yang membabi buta, yakni doktrin takfiri, yang menganggap
kelompok lainnya sebagai kafir. Atas dasar klaim purifikasi, yaitu
pemurnian ajaran untuk kembali kepada Islam yang benar (menurut versi
mereka), gerakan ini mengijinkan perlawanan terhadap semua kaum Muslim
yang dipandang tidak sejalan dengan ajarannya. Maka perpecahan di tubuh
Islam pun menjadi tak terelakkan. Peradaban Islam pun menjadi semakin
jauh tertinggal karena terlalu disibukkan dengan persoalan internal yang
sudah usang.
I. Wahhabi Sebagai Sekte Tersendiri
Istilah Wahhabi tidak diproklamirkan oleh pendiri ataupun
pengikutnya, melainkan datang dari orang-orang yang berada di luar. Nama
tersebut diambil dari perumus doktrin ajaran ini, yaitu Muhammad bin
‘Abdul Wahhâb (1115 H/ 1703 M – 1206 H/ 1791 M). Hingga saat ini,
Wahhabi dijadikan mazhab resmi di Arab Saudi yang pahamnya mendominasi
berbagai aspek kehidupan di sana.
Pengikut aliran ini sendiri menolak sebutan Wahhabi, sebab sejak awal telah menjadi stigma yang melahirkan kesan buruk,
sehingga mereka lebih memilih istilah al-Muwahhidûn atau Ahl al-Tawhîd,
yang berarti orang-orang yang mentauhidkan Allah. Namun justru nama
yang mereka gunakan itu mencerminkan keinginan untuk menggunakan secara
eksklusif prinsip tauhid yang merupakan landasan pokok Islam. Menurut
Prof. Hamid Algar, tidak ada alasan untuk menerima monopoli atas prinsip
tauhid tersebut, sebab gerakan ini merupakan hasil ijtihad seorang anak
manusia yang bisa benar bisa juga salah. Maka, cukup beralasan dan
lazim untuk menyebutnya “Wahhabisme” dan “kaum Wahhabi”.[1]
Para pengikut Wahhabi menyatakan diri bahwa tujuan mereka semata-mata
hanya untuk memurnikan tauhid. Tauhid harus dimurnikan sebab telah
bercampur dengan apa yang mereka namakan sebagai syirik, tahayul, bid’ah
dan khurafat. Islam yang sarat beban historis harus dirampingkan dan
dibersihkan dengan cara mengembalikan umat Islam kepada induk ajarannya,
Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Wahhabisme merupakan fenomena yang bersifat spesifik, yang mesti
dipandang sebagai mazhab pemikiran terpisah atau sekte tersendiri. Para
pengamat, khususnya non-Muslim, banyak yang melakukan deskripsi ringkas
keliru tentang mereka dengan menyebutnya sebagai kelompok Sunni ekstrim
atau konservatif. Padahal sejak awal, para ulama Sunni sendiri
menganggap mereka bukan bagian dari Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah. Hal itu
disebabkan karena hampir seluruh praktik, tradisi, dan kepercayaan yang
merupakan bagian integral Islam Sunni, dikecam oleh Muhammad bin ‘Abdul
Wahhab. Bahwa kaum Wahhabi kini dianggap sebagai Sunni[2], hal itu
mengindikasikan bahwa istilah “Sunni” telah diberi makna yang sangat
longgar, yakni sekadar pengakuan terhadap legitimasi empat khalifah yang
pertama. Bahkan istilah Sunni yang berkembang sekarang tidak lebih
berarti “non-Syi’ah”.[3] Karena itulah, penulis menganggap Wahhabi
merupakan sekte atau mazhab tersendiri dalam Islam.
II. Perjalanan Wahhabisme dalam Sejarah
Pendiri gerakan Wahhabi, Muhammad bin ‘Abdul Wahhab, berasal dari
keluarga klan Tamim yang menganut mazhab Hambali, dan sangat terpengaruh
oleh tulisan-tulisan seorang ulama bermazhab Hambali bernama Ibnu
Taimiyah yang hidup di abad ke-14 M.
Sebelum menjadi mubaligh, ia banyak melakukan perjalanan ke berbagai
wilayah yang motifnya tidak begitu jelas[4]. Mekkah, Madinah, Baghdad
dan Bashrah (Irak), Damaskus (Syria), Qum (Iran), Afghanistan serta
India adalah wilayah yang sempat ia kunjungi. Setelah berkelana dan
belajar di berbagai kota, lantas ia pun membawa doktrin-doktrin yang
kemudian dijadikan landasan pemikiran dan keyakinannya, yang nantinya
dinilai bermasalah oleh mayoritas kalangan Sunni ataupun Syi’ah.
Sebagian peneliti meragukan motif utama Wahhabisme sebagai gerakan
keagamaan murni. Mereka mengajukan bukti yang mengarah kepada keraguan
tersebut. Salah satunya adalah bukti yang diajukan oleh Dr. Abdullah
Mohammad Sindi, seorang professor yang berasal dari Saudi Arabia. Dalam
makalahnya yang berjudul “Britain and the Rise of Wahhabism and the
House of Saud”[5], ia mengutip sebuah memoar yang ditulis seorang agen
rahasia Inggris yang berjuluk Hempher.
Dalam “Confession of a British Spy”[6], demikian judul memoar
tersebut, Hempher mengakui adanya sebuah konspirasi Inggris untuk
menggoyang kekuasaan Imperium Ottoman (Utsmaniyah) serta untuk
menciptakan konflik di antara kaum Muslim.
Hempher yang berpura-pura memeluk Islam itu menjalin persahabatan
panjang dengan Muhammad bin ‘Abdul Wahhab. Hingga akhirnya berhasil
melakukan brainwash terhadap Muhammad bin ‘Abdul Wahhab, sehingga mampu
meyakinkannya bahwa kebanyakan kaum Muslim saat itu telah menyimpang
dari ajaran yang benar. Dan Muhammad bin ‘Abdul Wahhab adalah manusia
terpilih yang bisa menyelamatkan Islam dari berbagai penyimpangan.
Tentang kepribadian Ibn Abdul-Wahhab, Hempher menggambarkannya
sebagai seorang yang tidak stabil, berperangai buruk, gugup, sombong,
dan bodoh.[7]
Jika memoar tersebut benar adanya, maka tak diragukan bahwa gerakan
Wahhabisme sejak awal sudah terlibat dalam konspirasi yang disusun oleh
kolonial Inggris. Namun karena adanya sebagian peneliti yang meragukan
memoar tersebut dengan menunjukkan beberapa kejanggalan, maka tidak
menutup kemungkinan bahwa gerakan Wahhabisme pada awalnya memang
merupakan gerakan keagamaan. Meskipun pada perkembangan berikutnya,
adanya campur tangan Inggris tak bisa dipungkiri lagi.
Untuk menarik berbagai analisa dari sebuah gerakan kontroversial ini,
penulis membagi perjalanan sejarah Wahhabisme dalam tiga periode:
Periode Pertama (1744-1818): Babak Awal Aliansi Wahhabi-Saudi
Huraymilah terletak di Najd, sebuah wilayah di bagian timur jazirah
Arab. Di sinilah dakwah Ibnu ‘Abdul Wahhab dimulai setelah kembali dari
pengembaraannya. Ajarannya yang keras itu mengalami penolakan dari
masyarakat setempat, termasuk dari ayah dan saudaranya sendiri.
Pada periode ini, Ibnu ‘Abdul Wahhab menyusun sebuah buku kecil
sederhana yang diberi judul Kitâb al-Tawhîd, sebuah rujukan yang miskin
bobot intelektual, sebab di dalamnya tidak ada penjelasan yang
menunjukkan bangunan kerangka berpikir sang penulis. Tentang kitab ini,
simak komentar Prof. Hamid Algar:
Alih-alih menguraikan doktrin Islam yang paling fundamental seperti
tercermin dari judulnya, buku kecil itu hanya berisi kumpulan hadits
tanpa diberi komentar, yang disusun dalam enam puluh tujuh bab.
……
Adalah lebih mendekati kebenaran untuk mengatakan buku
ini dan karya-karya lain Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab merupakan
catatan-catatan seorang pelajar.
……
Tampaknya para pelindung Wahhabisme merasa malu dengan ketipisan
karya Muhammad bin ‘Abd Wahhab, sehingga mereka memandang karya itu
perlu dipertebal ukurannya.[8]
Setelah empat belas tahun menyebarkan ajarannya, ia kembali ke tempat
kelahirannya, ‘Uyaynah, yang kini memiliki kondisi yang lebih
menguntungkan. Penguasa setempat, yaitu ‘Utsman ibn Mu’ammar memperluas
perlindungannya kepada Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab dan bersumpah untuk
setia kepada pemahaman tauhid yang didakwahkan oleh Ibnu ‘Abdul Wahhab.
Perlindungan penguasa membuat Ibnu ‘Abdul Wahhab semakin tak
terkendali. Ia semakin terang-terangan mengkafirkan semua kaum Muslimin
yang dianggapnya melakukan bid’ah. Ia mulai mengutuk berbagai tradisi
dan akidah kaum Muslimin serta menolak berbagai tafsir Al-Qur’an yang
dianggapnya menyimpang.
Namun ini tidak berlangsung lama. Penguasa saat itu, ‘Utsman ibn
Mu’ammar, menyerah kepada pimpinan suku yang kuat di wilayah itu,
sehingga pada tahun 1744 ia diusir penguasa baru yang membuatnya pindah
ke Al-Dir’iyyah (masih di Najd), ibu kota keamiran Muhammad bin Sa’ud,
yang notabene bermusuhan dengan amir ‘Uyainah saat itu. Di sinilah Ibnu
‘Abdul Wahhâb mendapat perlindungan. Selanjutnya terbentuklah sebuah
aliansi permanen yang meliputi tiga aspek: politik, keagamaan, dan
perkawinan. Di bidang politik, sebagai amir Ibnu Sa’ud mendapatkan
legitimasi keagamaan; dalam bidang keagamaan Ibnu ‘Abdul Wahhab
diuntungkan dengan diangkatnya menjadi qadi serta ajarannya dinyatakan
sebagai mazhab resmi; dan dalam perkawinan Ibnu Sa’ud mengawini salah
seorang putri Muhammad bin ‘Abdul Wahhab. Sebuah aliansi yang tentu saja
menguntungkan kedua belah pihak. Prof. Abdullah Mohammad Sindi
menyebutkan bahwa lagi-lagi Inggris mengambil peran penting dalam rangka
terwujudnya aliansi tersebut. Melalui dukungan uang dan senjata,
Inggris semakin mudah menghasut mereka aliansi tersebut.[9]
Inilah babak awal lahirnya sebuah negara teokratik yang kelak
mengontrol ketat segala macam bentuk interpretasi keagamaan khususnya di
Arab Saudi.
Muhammad bin Saud kemudian menyatakan secara terbuka penerimaannya
terhadap berbagai pemikiran dan pandangan keagamaan Muhammad bin Abdul
Wahhab. Tahun 1159 H/ 1746 M, aliansi Wahhabi-Saudi melakukan proklamasi
formal jihad melawan semua orang yang tidak sejalan dengan pemahaman
tauhid Wahhabisme, yaitu orang-orang yang dianggap sebagai kafir,
musyrik, dan murtad. Mula-mula mereka menyerang mazhab Syi’ah, kemudian
kaum sufi, lalu mulai menyerang orang-orang Sunni. Semua yang tidak mau
mengikuti mazhab mereka dianggap kafir dan halal darahnya.
Dalam kurun waktu 10 tahun, aliansi tersebut tumbuh pesat menjadi
kekuatan dominan di jazirah Arab. Wilayah kekuasaan Muhammad bin Sa’ud
berkembang seluas 30 mil persegi.[10]
Tahun 1206 H/ 1791 M, tidak lama sesudah bentrokan dengan penguasa
Madinah, Muhammad bin ‘Abdul Wahhab meninggal. Namun hal ini tidak
mengurangi motivasi untuk melakukan penaklukan dan pembantaian. Malah,
kekuatan mereka tumbuh semakin besar.
Pada bulan April tahun 1801, mereka membantai kaum Syi’ah di Karbala,
tercatat 4000 orang dibantai secara kejam. Secara brutal pula mereka
menghancurkan makam Imam Husain di sana. Tahun 1810 mereka membunuh
orang-orang tak bersalah di jazirah Arab. Di Makkah mereka menjarah
orang-orang yang menunaikan ibadah haji. Di Madinah mereka menyerang dan
menodai Masjid dan makam Nabi.
Menyadari kekuatan yang semakin besar, maka target selanjutnya adalah
melepaskan diri dari dari Imperium Utsmani. Tidak butuh waktu lama,
ekspansi Wahhabi berhasil menimbulkan instabilitas di wilayah
kekhalifahan tersebut, terutama di semenanjung Arabia, Irak dan Syam.
Periode Kedua (1818-1932): Kekalahan dan Kebangkitan Baru
Pendudukan kaum Wahhabi atas Haramain memaksa pewaris kekhalifahan
yang resmi, yakni Kerajaan Utsmaniyah, untuk bertindak tegas. Terlebih,
berbagai aksi teror yang dilancarkan kelompok Wahhabi itu telah
membangkitkan kemarahan kaum Muslim sedunia. Untuk menindaklanjutinya,
Istanbul mengirim pasukan Mesir untuk menumpas gerakan tersebut. Tahun
1818 M, Ibrahim Pasya dari Mesir mengalahkan kelompok Wahhabi. Dir’iyyah
pun diratakan dengan tanah. Abdullah al-Sa’ud, amir saat itu, beserta
dua pengikutnya diseret ke Istanbul. Di depan publik kepalanya
dipenggal. Sebagian lagi dibawa ke Kairo untuk ditahan di sana. Ini
merupakan sebuah pelajaran yang hendak ditunjukkan Kerajaan Utsmaniyah
kepada orang-orang yang menggabungkan ambisi politik dengan penyimpangan
agama.
Kekalahan itu membuat kelompok Wahhabi yang tersisa semakin terbakar
api permusuhan terhadap kelompok Muslim lainnya. Tapi ironisnya, semakin
mendekatkan diri kepada kolonial Inggris. Ini terlihat ketika tahun
1851, Faisal Ibn Turki al-Saud yang sebelumnya berhasil meloloskan diri
dari tahanannya di Kairo, kembali meminta dukungan Inggris. Sebagai
tindak lanjut hubungan itu, tahun 1865 Inggris mengirim Kolonel Lewis
Pelly ke Riyadh untuk membuat suatu perjanjian.
Di awal abad ke-20, tatkala kekuatan dan strategi Inggris semakin
berhasil merongrong kekhalifahan Utsmaniyah, kembali pemimpin Wahhabi
saat itu, Abdul ‘Aziz, dimanfaatkan. Lagi-lagi, teror kembali dilakukan
kelompok Wahhabi. Dilaporkan, sekitar 1200 orang yang membangkang
dibantai secara kejam.[11]
Berkat sokongan Inggris, perlahan tapi pasti aliansi Wahhabi-Saudi di
bawah kepemimpinan Abdul ‘Aziz berhasil menaklukkan hampir seluruh
jazirah Arab. Puncaknya, tahun 1932 kerajaan Saudi Arabia terbentuk. Ini
menandai periode kebangkitan baru aliansi Wahhabi-Saudi.
Periode Ketiga (1932-Sekarang): Patron Baru dan Melemahnya Ikatan
Periode ini ditandai dengan perolehan atas kekayaan minyak dan
peralihan dari Inggris ke Amerika sebagai patron asing utama mereka.
Kembali aliansi ini dijadikan instrumen istimewa untuk kepentingan
Amerika dan sekutunya di Timur Tengah.
Melalui kucuran petrodollar, dalam beberapa dekade terakhir ini Saudi
dan Wahhabismenya itu berupaya tidak saja menghilangkan stigma buruk
yang melekat kepadanya, tetapi juga secara dramatis berusaha
meningkatkan citra diri di tengah dunia Islam. Oleh karena itu,
Wahhabisme kini telah disajikan sebagai gerakan reformis yang
semata-mata bertujuan untuk melakukan purifikasi di tubuh Islam. Sang
pendiri, Muhammad Ibn Abdul-Wahhab pun ditampilkan sebagai tokoh
pembaharu yang telah berhasil memurnikan Islam dari berbagai noda.
Hal-hal memalukan yang menjadi sorotan dunia pun berusaha
dieliminasi. Perlakuan diskriminasi terhadap kaum perempuan sebagai
warga kelas tiga semakin dikurangi. Tetapi isu-isu sektarian yang
menyangkut perlakuan buruk terhadap mazhab minoritas, terutama Syi’ah,
tetap berlangsung.[12]
Namun seiring berjalannya waktu, gejala melemahnya ikatan antara
kelompok keagamaan Wahhabi dan keluarga Saudi pun semakin kentara.
Pemicu utamanya adalah maraknya korupsi, gaya hidup hedonis, serta mulai
munculnya gejala sekularisasi. Sejumlah kecil orang mulai berani
mengecam dan berani mengungkap penyimpangan-penyimpangan rezim Saudi.
Pemberontakan di Mekkah bulan November 1979, yang dipimpin oleh
Juhaiman Muhammad ‘Utaibi, seorang mantan Kopral Garda Nasional Saudi,
menjadi peringatan awal adanya kekecewaan pada sebagian kalangan
terhadap kerajaan Saudi. Dikuasainya Masjidil Haram oleh sekelompok
bersenjata cukup mengejutkan dunia. Gejolak politik pun meledak. Lalu
tentara Amerika dan Eropa bersatu membantu pemerintah Saudi memulihkan
situasi di tanah suci.[13]
Perang teluk 1991 dan ekspansi besar kehadiran Amerika semakin membuat lebarnya jurang antara kelompok Wahhabi dan rezim Saud.
Sementara pemerintah Saudi semakin mesra dengan Amerika, para ulama
Wahhabi justru menganggap Amerika dan sekutunya adalah musuh yang harus
diperangi. Lantas orang bertanya, jika demikian, di mana ulama-ulama
Wahhabi ketika Irak diluluhlantakkan Amerika, ketika Hizbullah menahan
gempuran Israel selama 33 hari, juga ketika genosida terhadap rakyat
Palestina berlangsung hingga kini? Jawabnya sederhana: haram membantu
perjuangan orang-orang yang tidak seakidah dengan mereka.[14] Itu pula
yang menyebabkan kerajaan Saudi setengah hati ketika mendukung
penyerangan Amerika terhadap tentara Taliban di Afghanistan yang nota
bene berpaham Wahhabi.
Maka ketika World Trade Center di New York luluh lantak pada tanggal
11 September 2001, ulama Wahhabi bernama ‘Abdullah bin Jibrin
mengeluarkan fatwa yang tidak hanya membenarkan serangan terhadap WTC,
tetapi juga mengutuk orang-orang murtad dan kaum Muslim yang
berkolaborasi dengan Amerika, sebuah kategori yang jelas di dalamnya
termasuk keluarga Kerajaan Saudi.[15] Namun meski demikian, masih banyak
jajaran ulama Wahhabi yang tetap setia dengan rezim Saudi.
III. Salafisme: Wajah Baru Wahhabisme?
Ada pengertian yang agak kabur antara Wahhabisme dan Salafisme,
apakah keduanya sama atau berbeda. Pasalnya, kaum Wahhabi sering pula
mengatasnamakan diri sebagai As-Salaf. Namun jika ditinjau dari
kategorisasi historis, terdapat perbedaan di antara keduanya.
Sebagai respons terhadap berbagai perkembangan yang terjadi di dunia
Islam, berkaitan dengan makin luasnya dominasi kaum imperialis Barat,
muncullah tokoh-tokoh pembaharu seperti Jamal al-Din al-Afghani,
Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridha, lalu dilanjutkan dengan Ikhwan
al-Muslimin, dan singkatnya diteruskan oleh berbagai tokoh dan gerakan
yang dikenal sebagai Salafiyah.
Diantara tokoh-tokoh pembaharu di atas, Rasyid Ridha dikenal paling
fundamentalis dan konservatif. Seperti Ibn Abdul Wahhab, referensi
langsungnya adalah kepada masa lalu dan para pendahulu yang saleh
(al-salaf al-shâlih), karena itu gerakan mereka disebut sebagai
Salafiyah. Namun tidak seperti Wahhabisme, gerakan ini berusaha
merekonsiliasi ide-ide “modern” dan Islam dengan menemukan (dan
menafsirkan) kembali kebaikan-kebaikan yang menurut mereka terdapat
dalam agama.[16]
Akibat situasi politik di dunia Arab, era 1960-an tercipta hubungan
yang lebih erat antara Salafi dan Wahhabi ketika tejadi perang dingin
antara kubu Mesir dan Arab Saudi. Di bawah payung organisasi Liga Dunia
Muslim yang dibentuk Arab Saudi tahun 1962, kaitan lebih erat antara
kaum Salafi dan Wahhabi terwujud. Para anggota Ikhwan al-Muslimin di
Mesir (dan belakangan di Suriah) hampir sulit disalahkan jika mereka
mendekatkan diri kepada Arab Saudi, mengingat serangan-serangan yang
mereka terima di negeri mereka sendiri. Padahal kekhawatiran mereka
sangat beralasan, yakni semakin prihatin dengan cengkeraman imperialisme
asing. Mungkin itulah sebabnya orang-orang dengan kecenderungan Salafi
seperti Rasyid Ridha, yang dengan perasaan kecewa tengah mencari seorang
pahlawan, mulai bersimpati pada Wahhabisme.
Di tengah transformasi Islam yang berkembang di Timur Tengah saat
itu, salah satu yang dikenal bercorak keras adalah yang lahir dari buah
pemikiran Sayyid Quthb (w.1960). Awalnya ia menggambarkan kondisi
masyarakat kontemporer sebagai neo-Jahiliyyah, namun kemudian
ditafsirkan secara radikal oleh aliran Islamis yang lebih muda dan
ekstrem di Mesir (dan di beberapa tempat di Timur Tengah). Implikasi
paling serius yang telah dielaborasi adalah konsep takfir. Muslim
nominal (Islam “KTP”) telah menjadi kafir dan karena itu secara
potensial diperbolehkan dibunuh.[17]
Watak radikal itulah barangkali yang membuat sebagian orang
menyamakan Salafisme dengan Wahhabisme. Memang Salafisme memiliki
sejumlah kesamaan pandangan keberagamaan dengan Wahhabisme, tetapi
perbedaannya cukup mencolok. Adapun yang membedakannya adalah sebagai
berikut:
Salafi lebih menekankan persuasi daripada pemaksaan dalam rangka mengajak kaum Muslim untuk menerima pandangan mereka.
Salafi memiliki kesadaran dan pengetahuan mengenai krisis politik dan sosial-ekonomi yang melanda dunia Islam.
Salafi merekonsiliasikan ide-ide modern dengan nilai-nilai dalam Islam.
Perbedaan di atas bisa ditarik ketika—sekali lagi—istilah Salafisme
dikaitkan dengan kategorisasi historis sebagaimana telah dikemukakan
sebelumnya. Mengingat saat ini agak kabur untuk membedakan keduanya,
terutama yang berkembang di Indonesia.
IV. Sekilas Ajaran Wahhabisme
Setelah memaparkan sejarah perkembangan Wahhabisme, penting kiranya untuk sedikit menyinggung doktrin utama ajaran mereka.
Dari paparan sejarah sebelumnya, sebetulnya dapat terbaca bagaimana
corak ajaran mereka. Namun di bagian ini penulis akan mencoba
meringkasnya seraya menambahkan beberapa poin yang penulis anggap
penting.
Kaum Wahhabi, seperti pendirinya, adalah orang-orang yang berpikir
sangat linier, literal, kaku, serta sangat denotatif dalam memahami
ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadits. Umumnya mereka menolak majâz
(metafora). Bagi mereka, semua inovasi itu sesat dan semua yang sesat
itu masuk neraka. Sehingga bid’ah hanyalah sebuah eufimisme, kata
pelembut untuk ‘kafir’.[18]
Mereka juga menolak keberadaan seni dan budaya dalam Islam, serta
tidak mementingkan peninggalan sejarah Islam. Oleh karena itu,
tempat-tempat bersejarah Islam seperti rumah tempat kelahiran Nabi,
rumah Ummul Mu’minîn Khadîjah, serta tempat tinggal Nabi dihancurkan.
Padahal, menurut Syaikh Ja’far Subhani, awalnya Muhammad ibn ‘Abdul
Wahhab memusatkan upayanya hanya untuk menghancurkan kuburan-kuburan
saja, bukan menghancurkan setiap peninggalan yang ditinggalkan
Rasulullah dan para sahabatnya yang mulia. Tetapi para pengikutnya kini
telah meluaskan usahanya dengan melakukan pemusnahan setiap peninggalan
Islam, dengan dalih perluasan kedua tempat suci, Makkah dan Madinah.[19]
Ini tentu sangat disayangkan dan penting untuk diperhatikan kaum Muslim
di seluruh dunia.
Kian hari umat Islam mengalami persoalan yang kian menumpuk. Namun
bagi Wahhabi, persoalan utama umat Islam terletak pada masalah tauhid,
di mana mereka membaginya menjadi tiga bagian:[20]
1). Tauhid al-Rububiyyah
Tauhid ini mengandung arti pengakuan bahwa hanya Allah semata yang
memiliki sifat rabb, penguasa dan pencipta dunia, yang menghidupkan dan
mematikan. Tauhid ini sekadar pengakuan verbal yang dengannya saja belum
memadai untuk mencapai kualitas sebagai Muslim.
2). Tauhid al-Asma wa al-Sifat
Mengandung pengertian hanya membenarkan nama dan sifat yang disebut
dalam Al-Qur’an. Tidak diperbolehkan menerapkan nama-nama tersebut
kepada siapapun selain Tuhan. Ini merupakan ulangan dari apa yang
dirumuskan oleh Ibn Taymiyyah yang mengecam antropomorfisme.
3). Tauhid al-‘Ibâdah
Mengandung pengertian bahwa seluruh ibadah hanya ditujukan kepada
Allah. Tauhid inilah yang dianggap paling penting, yang membatasi secara
tegas antara Islam dan kufur, antara tauhid dan syirik. Di sini tauhîd
al-‘ibâdah didefinisikan secara negatif, dalam arti menghindari
praktik-praktik tertentu; bukan secara afirmatif. Inilah yang
mengakibatkan perasaan takut terhadap apa yang dianggap sebagai
penyimpangan. Ini membantu menjelaskan mengapa Wahhabisme memiliki watak
yang sangat keras.[21] Maka segala macam bentuk tawassul, ziyarah,
tabarruk, syafâ’ah, hingga praktik-praktik yang telah menjadi tradisi
dalam Islam Sunni dan Syi’ah sepeti maulid, dianggap sebagai pelanggaran
atas tauhîd al-‘ibâdah.
Dalam pandangan Wahhabi, bid’ah dibagi menjadi dua: 1). Bid’ah dalam
adat dan tradisi; 2). Bid’ah dalam agama. Bid’ah yang pertama hukumnya
mubah/ boleh, sedangkan yang kedua haram dan sesat. Bid’ah yang kedua
kemudian dibagi lagi menjadi dua: bid’ah qawliyyah i’tiqadiyyah dan
bid’ah fi al-‘ibadah.
Bagi Wahhabi, kaum Syi’ah, Sufi, dan kebanyakan kaum Sunni telah
melakukan bid’ah baik bid’ah qawliyyah i’tiqadiyyah maupun bid’ah fi
al-‘ibadah. Maka dari itu boleh (bahkan harus) diperangi.
V. Refleksi
Wahhabisme pada awalnya memang merupakan sebuah gerakan keagamaan
murni hasil pemikiran seorang anak manusia sebagai respons terhadap
praktik-praktik lokal keberagamaan yang dipandang menodai kemurnian
Islam. Bahwa kemudian ia dijadikan alat oleh Inggris untuk menancapkan
hegemoninya, ini adalah hal lain yang memang tak dapat dipungkiri,
bukti-bukti sejarah menunjukkan demikian. Namun mengatakannya bahwa
sejak awal memang sudah diatur oleh Inggris, memerlukan bukti-bukti yang
lebih kuat lagi. Adapun memoar ‘Confession of a British Spy’ tidak
cukup kuat dijadikan bukti karena mengandung beberapa kejanggalan,
walaupun tetap patut dibaca untuk ‘meraba’ situasi jazirah Arab saat
itu.
Jika saja aliansi Wahhabi-Saudi tak memiliki kekayaan berupa
cadangan minyak raksasa, gerakan Wahhabisme mungkin hanya tergores dalam
catatan sejarah sebagai gerakan pemikiran yang secara intelektual
bersifat marjinal dan berumur pendek saja. Namun nasib baik sebagai
negeri kaya raya mampu membuat mereka eksis hingga saat ini. Mereka
memiliki modal kuat sehingga mampu menyebarluaskan paham Wahhabisme di
dunia Islam, hingga ke Indonesia.[22] Dan penyebaran paham Wahhabisme di
Indonesia terbilang cukup pesat. Inilah salah satu sebab mengapa
Indonesia yang sebelumnya sering disebut sebagai contoh par excellence
masyarakat Muslim yang lembut dan sejuk, perlahan mengalami radikalisasi
akibat pengaruh ideologi dan kebudayaan luar.
Karakteristik Wahhabisme yang sangat kaku telah ikut membunuh tradisi
dialektika yang mewarnai peradaban Islam berabad-abad lamanya. Contoh
konkretnya bisa didapati di Makkah dan Madinah. Sangat disayangkan bahwa
Haramain yang telah berabad-abad lamanya menjadi pusat intelektual
dunia Islam, di tangan Wahhabi berakhir. Nyaris tak menyisakan apapun
kecuali lembaga-lembaga dakwah Wahhabisme yang secara absurd diberi
label Universitas. Padahal kegiatan intelektual menentukan perkembangan
peradaban suatu bangsa. Selama masih dalam genggaman kekuasaan Wahhabi,
sulit mengembalikan Makkah dan Madinah ke masa-masa awal ketika kedua
kota tersebut masih menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan di dunia
Islam.
Imbas ekspansi Wahhabisme menyentuh pula aspek seni dan budaya. Fakta
yang ditemukan kini, nyaris tak ada peninggalan seni dan budaya Islam
di Arab Saudi. Maka menjadi sebuah ancaman serius ketika mereka berhasil
mengekspor pahamnya hingga berhasil memberangus seni dan budaya yang
merupakan muatan lokal suatu wilayah.
Memang sulit diterima ketika Wahhabisme menolak keragaman budaya dan
apresiasi terhadap seni. Sejak dulu kala keragaman seni dan budaya dalam
Islam begitu kaya, ekspresinya amat berwarna. Bahkan dalam pandangan
sufistik, seni merupakan manifestasi keindahan ilahiah yang mampu
membangkitkan gairah spiritualisme.
Hal lainnya yang patut menjadi sorotan adalah masalah persatuan
Islam. Cara-cara radikal yang mereka tempuh telah mengantarkan kepada
tindakan kontra produktif. Persatuan Islam yang selama ini telah dijaga
utuh oleh berbagai kalangan baik Sunni ataupun Syi’ah terancam secara
serius akibat pandangan sempit kelompok Wahhabi, yang sayangnya lagi,
mudah dijadikan alat adu domba oleh musuh Islam yang sesungguhnya.
Telah banyak sarjana, baik Muslim maupun non-Muslim, yang merasa
prihatin dengan implikasi negatif ekspansi Wahhabisme. Mereka cukup
produktif menghasilkan karya ilmiah untuk mengungkap sejarah kelam
Wahhabisme. Sayangnya, isu ini bukan sesuatu yang menarik bagi sebagian
besar masyarakat kita. Maka akibat sikap lalai, tak heran jika paham
Wahhabisme dengan mudahnya masuk ke sekolah-sekolah hingga ke
Universitas.[23]
Mungkin membingungkan mengapa para mahasiswa dapat tertarik pada
pandangan Wahhabisme. Namun ketertarikan itu bisa jadi wajar, mengingat
para mahasiswa terbiasa dengan pandangan dunia rasionalistik yang
didorong oleh studi mereka di bidang teknologi, rekayasa dan ilmu alam.
Lantas mereka mendapati di dalam Wahhabisme ada Islam yang (seolah)
telah dirasionalkan, yakni Islam yang telah dibersihkan dari
kompleksitas teologi dan kerumitan sufisme, yang dinilai sebagai
tambahan yang tergolong bid’ah. Singkatnya, mereka menemukan bahwa Islam
yang disajikan dalam bentuk sederhana dan “hitam-putih” cocok bagi
mereka.
Perlu dicatat bahwa tidak semua paham Wahhabi dan Salafi yang ada
sekarang setuju dengan cara-cara kekerasan. Ini seiring dengan dinamika
kehidupan, spektrum yang terbentuk menjadi semakin lebar dan melahirkan
kategorisasi-kategorisasi baru. Dalam hal ini, selama mereka tidak
menggunakan cara-cara kekerasan, dakwah mereka tidak dapat disalahkan.
Justru ini menjadi PR besar bagi kita untuk berusaha menyajikan
ilmu-ilmu agama “orisinil” sebagai menu yang mengundang selera anak-anak
muda sejak dini. Sebab, bisa jadi mudahnya mereka terdoktrin oleh
ajaran Wahhabisme disebabkan karena kebanyakan dari mereka belum
menyadari betapa samudera keilmuan Islam sesungguhnya begitu luas dan
mempesona.[]
[1] Algar, Hamid. Wahhabisme, Sebuah Tinjauan Kritis, Jakarta: Paramadina, 2008, hal 28
[2] Kaum Wahhabi sendiri menganggap mereka sebagai representasi dari Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah.
[3] Algar, Hamid, op. cit., hal 30
[4] Hamid Algar memandang motif perjalanan Ibnu ‘Abdul Wahhab masih
tanda tanya. Sejarawan lainnya mengatakan untuk urusan bisnis atau
sekadar bersenang-senang. Ada juga yang mengatakan motif perjalanannya
itu untuk menimba ilmu.
[5] Abdullah Mohammad Sindi, Britain and the Rise of Wahhabism and
the House of Saud, e-Bulletin Vol.IV 16 January 2004,
www.kanaanonline.org
[6] Meskipun catatan atau buku berjudul Confession of a British Spy
ini diragukan keasliannya oleh sebagian kalangan, termasuk Prof. Hamid
Algar, namun cukup layak dibaca untuk mengetahui gambaran situasi di
jazirah Arab saat itu.
[7] Waqf Ikhlâs, Confession of a British Spy, Istanbul: Waqf Ikhlas Publications No.14, Eight Edition, 2001
[8] Algar, Hamid, op. cit., hal 30, 44, 45, 47
[9] Dr. Mohammad Abdullah Sindi, op. cit.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] International Crisis Group, dalam jurnal tertanggal 19 September
2005, melaporkan bahwa intimidasi terhadap kaum minoritas Syi’ah terus
berlangsung, bahkan di sekolah-sekolah guru-guru secara terbuka
mengkafirkan Syi’ah di depan para siswanya. Belum lagi fatwa ulama
Wahhabi yang terang-terangan menghalalkan darah kaum Syi’ah.
[13] Trofimov, Yaroslav, Kudeta Mekkah, eBook, Pustaka Alvabet,
http://books.google.co.id/books?id=gPYcKbf6sxIC&printsec=frontcover&hl=en#v=onepage&q=&f=false
[14] Isu ini bisa dicek di beberapa website Wahhabi/ Salafi baik di
luar maupun dalam negeri. Sebagai contoh:
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1086
[15] Algar, Hamid, op.cit., hal 119
[16] Fealy, Greg dan Anthony Bubalo, Jejak Kafilah, Pengaruh Radikalisme Timur Tengah di Indonesia, Bandung: Mizan, 2007, hal 32
[17] Ibid, hal 41
[18] Muhsin Labib, Wahabisme Dan ‘Teologi Penyesatan’,
http://irfanpermana.wordpress.com/2007/02/28/wahabisme-dan-%E2%80%98teologi-penyesatan%E2%80%99/
[19] Subhani, Ja’far, Al-Milal wa Al-Nihal, Studi Tematis Mazhab Kalam, Pekalongan: Penerbit Al-Hadi, 1997, hal 363
[20] Algar, Hamid, op.cit., hal 69
[21] Ibid, hal 72
[22] Greg Fealy dan Anthony Bubalo dalam bukunya, Jejak Kafilah,
mengatakan bahwa tiga organisasi di Indonesia secara khusus menerima
dukungan dana signifikan dari Arab Saudi. Mereka adalah DDII, Al-Irsyad,
dan Persis. (Fealy, Greg dan Anthony Bubalo, Jejak Kafilah, Bandung:
Mizan, 2007)
[23] Baca tulisan Prof. Komaruddin Hidayat yang dipublikasikan di
website alamat berikut:
http://news.okezone.com/read/2009/10/23/58/268509/radikalisme-islam-menyusup-ke-smu
Simak di: http://www.sarkub.com/2012/rekam-jejak-gerakan-wahhabisme/#ixzz2i4zGuIxN
Salam Aswaja by Tim Menyan United
Follow us: @T_sarkubiyah on Twitter | Sarkub.Center on Facebook
Sumber : ModalUsaha